Senin, 30 Juli 2012

Iman yang menghujam

Iman adalah mata yang terbuka, 
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban


Iman yang kuat adalah iman yang variabilitas detaknya tinggi.
Para ulama mengistilahkannya sebagai iman yang berdiri di antara khauf dan raja, antara takut dan harap, tidak merasa aman dari azab-Nya sekaligus berprasangka baik akan surga-Nya.

Saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.
Di padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing.
Dua pasukan telah berhadapan.
Tak imbang memang.
Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh ‘aqidah.
Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran dan kebatilan.
Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.

Nabi Muhammad SAW berdoa, “Ya Allah”, lirihnya dengan mata berkaca-kaca,
“Jika Kau biarkan pasukan ini binasa,
Kau takkan disembah lagi di bumi!
Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!”
Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.

Doa yang mengancam terdengarnya, tapi itulah perasaan terdalam Rasul Allah, karena kecintaan beliau kepada Allah.

Lalu Abu Bakar, lelaki dengan iman tanpa retak itu berkata, “Sudahlah, Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Rasulullah SAW, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janji-Nya padamu!”

Lain lagi dengan Nabi Ibrahim yang bertanya kepada Allah,
“Tunjukkan padaku duhai Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”,

Itu iman, itu iman yang gelisah.
Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka.
Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran.
Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghujam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.
Kita tahu, di Badr hari itu, Abu Jahl juga berdoa.
Dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru,
“Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar dari sisi-Mu, hujani saja kami dari langit dengan batu!”

Berbeda dari Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal.
Tak menyisakan sedikitpun ruang untuk bertanya.
Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.
Itukah keyakinan yang sempurna?
Bukan.
Itu justru kenaïfan. Naif sekali.

Mari bedakan kedua hal ini.
Yakin dan naïf.
Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghujam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi.
Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya.
Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya.

Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya muslim lain tanpa henti.
Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar.
Mencita-citakan tegaknya Dien, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat.
Itu naïf.

Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya sekali dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit.
Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa.
Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata.
Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il.
Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada anaknya yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.
Dan dia memejamkan mata.
Lagi-lagi memejamkan mata.
Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan.
Mereka tak tahu apa sesudah itu.
Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Allah untuk begini.
 Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci,
“Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.”

Lalu mereka bertindak.
Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat.
Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.
Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata.
Ya, memejamkan mata.
Begitulah para peyakin sejati.
Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi.
Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan.
Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan.
Tapi mereka harus mengerjakan perintah-Nya.
Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.

Para pengemban da’wah, jika ada perintah-Nya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita.
Lalu kerjakan.
Mengerjakan sambil memejamkan mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada-Nya yang telah menulis takdir kita.
Allah yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah.
Allah yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan.
Allah yang menciptakan kita, dan pada-Nya juga kita akan kembali.

"Ya Allah, lindungilah aku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar